dari internet gambar ini |
Oleh: Rofiq Hidayat
Seperti bakal membuat iklim demokrasi dan pemerintahan desa menjadi tidak sehat. Bahkan, menyuburkan oligarki di desa, hingga bertentangan dengan semangat reformasi dan amendemen konstitusi dengan menekan limitasi terhadap kekuasaan di cabang eksekutif.
Kerumunan orang berseragam coklat bersuara lantang di depan Gedung Parlemen beberapa hari lalu berbuntut panjang. Usut punya usut, aspirasi yang disodorkan ke anggota dewan menyoal perpanjangan masa jabatan kepala desa dari 6 tahun menjadi 9 tahun. Belakangan harapan perpanjangan jabatan kepala desa dan perangkat pemerintahan desa dalam satu periode di tahun politik menimbulkan pro dan kontra. Lantas potensi masalah apa yang bakal muncul bila terjadi perpanjangan masa jabatan di tahun politik?
Koordinator Divisi Pelayanan Publik dan Reformasi Birokrasi Indonesia Corruption Watch (ICW) Almas Ghaliya Putri Sjafrina mengatakan perpanjangan masa jabatan dari 6 menjadi 9 tahun dalam satu periode sejatinya patut ditolak DPR dan pemerintah. Sebab, DPR dan pemerintah seolah memberikan karpet merah dalam menyikapi wacana ini. Boleh dibilang, kata dia, respon positif pemerintah maupun DPR di tengah tahun politik amat bernuansa politis dengan tukar guling untuk meraih dukungan dalam kontestasi Pemilu 2024 mendatang.
“Usulan tersebut sama sekali tidak relevan dengan urgensi kebutuhan pembenahan pemerintahan desa. Akomodasi atas usulan tersebut akan menyuburkan oligarki di desa dan politisasi desa,” ujar Almas Ghaliya melalui keterangannya, Jum’at (27/1/2023).
Desa memang masih ‘diselimuti’ sejumlah persoalan, mulai tata kelola keuangan yang ekslusif, partisipasi bermakna masyarakat hingga korupsi. Hal ini berakibat pembangunan dan kesejahteraan masyarakat desa berjalan tidak optimal termasuk mereduksi potensi korupsi. “Bukan menyambut usulan yang justru akan memperburuk masalah di desa,” ujarnya.
ICW mencatat tren penindakan korupsi tiap tahunnya menunjukkan fenomena mengkhawatirkan terkait desa. Sepanjang 2015-2021 misalnya, terdapat 592 kasus korupsi di desa dengan nilai kerugian negara mencapai Rp 433,8 miliar. Korupsi yang terjadi di desa berdampak pada kerugian yang dialami masyarakat desa. Tapi, kata Almas, belum ada solusi dan langkah efektif dalam menekan korupsi di desa.
Peneliti ICW Kurnia Ramadhana mengatakan dengan diakomodirnya usulan perangkat kepala desa oleh DPR dan pemerintah terkait perpanjangan masa jabatan berpotensi menimbulkan tiga masalah mendasar. Pertama, perpanjangan masa jabatan kepala desa bakal membuat iklim demokrasi dan pemerintahan desa menjadi tidak sehat. Malahan bisa menyuburkan oligarki di desa.
Karenanya, potensi desa dipimpim kelompok yang sama selama puluhan tahun terbuka lebar. Minimnya keterlibatan masyarakat dalam pengambilan keputusan berkaitan dengan pembangunan desa menjadi persoalan. Begitu pula transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan dan pembangunan oleh pemerintah desa disinyalir kerap melatarbelakangi praktik korupsi di sana.
Kedua, perpanjangan masa jabatan kepala desa bertentangan dengan semangat reformasi dan amendemen konstitusi dengan menekan limitasi terhadap kekuasaan di cabang eksekutif. Mengacu Pasal 39 UU No.6 Tahun 2014 tentang Desa yang mengatur satu periode masa jabatan selama 6 tahun. Itupun masiih dibuka peluang sampai tiga periode secara berturut atau berselang seling. Dibandingkan dengan jabatan publik lainya yang lahir dari mandat masyarakat, jabatan kepala desa relatif lebih panjang.
“Sayangnya, ide perpanjangan itu tidak didukung dengan argumentasi yang jelas dan cenderung bermuatan politis,” katanya.
Ketiga, respon positif atas usulan perpanjangan masa jabatan kepala desa bakal menjadi preseden buruk. Bahkan dicurigai sebagai pintu masuk perpanjangan masa jabatan presiden, kepala daerah dan anggota legislatif. Menurut Kurnia, bila usulan tersebut diakomodir, boleh jadi masa jabatan elected officials lain dapat diwacanakan untuk diperpanjang. Terlebih, narasi perpanjangan masa jabatan ini bukan kali pertama.
Kurnia melanjutkan upaya melanggengkan petahana acapkali dimunculkan sejumlah kelompok belakangan terakhir. Seperti penundaan pemilu, menambah masa jabatan presiden, hingga menjadikan periode waktu kepemimpinan presiden menjadi tiga periode. Atas dasar itu, Kurnia mencurigai ide merevisi UU 6/2014 dengan substansi perpanjangan masa jabatan kepala desa sebagai agenda terselubung dari kelompok tertentu.
Bagi ICW, kata Kurnia, alasan 6 tahun tidak cukup membangun desa lantaran adanya ketegangan dan polarisasi masyarakat pasca Pilkades bukanlah alasan tepat dijadikan justifikasi perpanjangan masa jabatan kepala desa. Padahal jalan keluar yang perlu ditempuh dengan membenahi sektor Pilkada yang ada potensi transaksional jual beli suara maupun konflik.
“ICW mendesak agar pembentuk UU secara tegas menolak usulan ini dan menghentikan wacana perpanjangan masa jabatan kepala desa,” katanya.
sumber :https://www.hukumonline.com/berita/a/icw-beberkan-tiga-masalah-mendasar-dalam-perpanjangan-masa-jabatan-kepala-desa-lt63d3a4911fe68/
0 Comments:
Posting Komentar